Adakah sepenggal harap
Pada sepenggal nyawa yang tersisa?
Hingga hilang sebongkah keletihan
Atau keburaman menatap
... asa
Aku lemah, aku kalah
Hijau rumputku tak lagi sanggup birukan langitku
Yang ada...
Hanya hitamkan darahku
Asa itu hanyalah setitik angan...
Mimpi...
Bahkan sekali tiada aku sanggup
Entah untukku di esok pagi
---Sedih Melihat Rumah----
------------Balikpapan, 31 Oktober 2005----
Monday, October 31, 2005
Saturday, October 29, 2005
Tuesday, October 25, 2005
Seniman Surga
Ia telah merangkai matahari
bulan, bintang, pelangi dan awan.
Melukisnya dalam kanvas biru dan hitam
Kemudian ia tinggalkan warna-warna hijau,
rumput, pasir dan laut,
tempat ia pernah tuliskan namanya dengan tinta emas.
Kemudian pergi ke dalam lukisan yang kini sedang ia buat,
...Surga.
bulan, bintang, pelangi dan awan.
Melukisnya dalam kanvas biru dan hitam
Kemudian ia tinggalkan warna-warna hijau,
rumput, pasir dan laut,
tempat ia pernah tuliskan namanya dengan tinta emas.
Kemudian pergi ke dalam lukisan yang kini sedang ia buat,
...Surga.
Saturday, October 22, 2005
becak senyum
Keringat menetes lagi. Tapi kini lebih basah.
Keringat yang jatuh langsung mengering oleh terik yang membakar jalan hitam aspal yang kini lunak tak lagi keras.
Disekanya keringat yang masih menempel di dahinya, sembari terus mengayuh pedal becaknya.
Becak tua dan tukang becak tua.
Untuk anak dan istriku, katanya sambil sekali lagi menyeka keringatnya, dan sesekali menoleh ke arah temannya yang tertidur lelah di sebuah pangkalan.
Sang anak memanggil pulang, sudah saatnya dzuhur dan makan siang, dan sang anak tersenyum.
Tersenyum pula si tukang becak tua, sembari menatap ke langit. Mungkin ia berdoa, dan pasti ia bersyukur. Terimakasih atas senyum anak-anaknya, yang telah hilangkan lelahnya.
"Bahkan orang-orang yang paling bahagia di dunia, terkadang adalah mereka yang pulang dengan tubuh bau penuh keringat". 'God', Bruce Almighty
Keringat yang jatuh langsung mengering oleh terik yang membakar jalan hitam aspal yang kini lunak tak lagi keras.
Disekanya keringat yang masih menempel di dahinya, sembari terus mengayuh pedal becaknya.
Becak tua dan tukang becak tua.
Untuk anak dan istriku, katanya sambil sekali lagi menyeka keringatnya, dan sesekali menoleh ke arah temannya yang tertidur lelah di sebuah pangkalan.
Sang anak memanggil pulang, sudah saatnya dzuhur dan makan siang, dan sang anak tersenyum.
Tersenyum pula si tukang becak tua, sembari menatap ke langit. Mungkin ia berdoa, dan pasti ia bersyukur. Terimakasih atas senyum anak-anaknya, yang telah hilangkan lelahnya.
"Bahkan orang-orang yang paling bahagia di dunia, terkadang adalah mereka yang pulang dengan tubuh bau penuh keringat". 'God', Bruce Almighty
sahabat, untukmu bait ini tertuliskan, untukmu, pada hati yang teselubung kerinduan
Kapan kita kembali ke malam di mana kita melihat burung hantu bersandar mengintip kita di tepi danau berdua?
Masih jelas kuingat ketika memimpin doa untukmu, agar kita tetap dilindungiNya, Tuhan kita, dari kejadian yang menimpa sesuatu yang disembunyikan di dasar air.
Aku masih juga ingat mengapa malam itu kita datang ke tempat rahasia kita itu, saat aku sedih. Aku yang menunjukkan jalan, namun kau yang mengajakku ke sana.
Itu tempat kesukaanku, itu yang kukatakan saat itu. Tempatku tenangkan riak hati dalam ruang dada yang begolak.
Dan hari ini masih sama, itu masih tempat yang sama, bahkan masih sama di hati ini.
Walau kini aku lebih sering sendiri, selalu sendiri.
Dan burung hantu sudah letih menunggumu. Tidak lagi ia tertarik melihatku sedih duduk melesu di bawah pohonnya.
Apalagi jika mengenang tentang cerita sesuatu yang berada di dasar air itu.
Burung hantu itu sudah jarang duduk di dahannya.
Hanya sesekali melintas di atasku diam-diam, mengintai dirimu, apakah telah kembali.
Salam paling indah darinya untukmu, ia masih mengharap melihatmu di bawah pohonnya menemaniku. Walau kini aku akan berusaha membiasakan diri dengan kesendirian.
Salam paling indah pula dariku untukmu, jika surat ini tidak sampai padamu kuharap tidak kau lupakan aku yang sedang diam menunggu di tempat duduk di tepi danau, tempat rahasia kita.
Dan terimakasih atas pemberianmu malam itu. Ia masih indah. Aku akan terus mengharapkan kau terus memberiku di tiap kehadirannya.
--------------------------------------mus--
Masih jelas kuingat ketika memimpin doa untukmu, agar kita tetap dilindungiNya, Tuhan kita, dari kejadian yang menimpa sesuatu yang disembunyikan di dasar air.
Aku masih juga ingat mengapa malam itu kita datang ke tempat rahasia kita itu, saat aku sedih. Aku yang menunjukkan jalan, namun kau yang mengajakku ke sana.
Itu tempat kesukaanku, itu yang kukatakan saat itu. Tempatku tenangkan riak hati dalam ruang dada yang begolak.
Dan hari ini masih sama, itu masih tempat yang sama, bahkan masih sama di hati ini.
Walau kini aku lebih sering sendiri, selalu sendiri.
Dan burung hantu sudah letih menunggumu. Tidak lagi ia tertarik melihatku sedih duduk melesu di bawah pohonnya.
Apalagi jika mengenang tentang cerita sesuatu yang berada di dasar air itu.
Burung hantu itu sudah jarang duduk di dahannya.
Hanya sesekali melintas di atasku diam-diam, mengintai dirimu, apakah telah kembali.
Salam paling indah darinya untukmu, ia masih mengharap melihatmu di bawah pohonnya menemaniku. Walau kini aku akan berusaha membiasakan diri dengan kesendirian.
Salam paling indah pula dariku untukmu, jika surat ini tidak sampai padamu kuharap tidak kau lupakan aku yang sedang diam menunggu di tempat duduk di tepi danau, tempat rahasia kita.
Dan terimakasih atas pemberianmu malam itu. Ia masih indah. Aku akan terus mengharapkan kau terus memberiku di tiap kehadirannya.
--------------------------------------mus--
Thursday, October 20, 2005
sayang
"Orang yang sangat kita sayangi tidak akan pernah benar-benar meninggalkan kita"
--------------Remus Lupin, Harry Potter and the Prisoner of Azkaban-----
--------------Remus Lupin, Harry Potter and the Prisoner of Azkaban-----
Tuesday, October 18, 2005
.h.u.j.a.n. .l.a.g.i.
Hujan lagi
Dan aku bernyanyi
Dalam jatuhnya air-air tak berwarna
Bernyanyi, kemudian menari, kuyup
Menari, menari, menari
Menunggu hadir sang pelangi
Lalu ku terlelah,
Letih, lalu terjatuh
Dan terbaring di lapang
dalam serbuan lemah para rintik
Ku tertidur, namun tiada terlelap
Bahagia, meski hanya sesaat
Karena pelangi kini hadir
Pelangi, yang setahun kurindukan
Bagai kerinduan musafir padang pasir
pada oase-oase suci, atau zam-zam zam-zam yang tiada pernah ternoda
Lalu sesaat menghilang,
Namun ku terpuaskan
oleh warnanya, oleh indahnya
Terimakasihku pada Penciptanya
Hadirkannya di sisi jauh langitku yang kini sudah kembali biru,
kembali cerah, dan berubah sunyi.
Dengan sisa kesejukan, ku harap ia kan kembali esok,
di pagi berembun atau di terik-terik hari yang lain.
--------------
Dan aku bernyanyi
Dalam jatuhnya air-air tak berwarna
Bernyanyi, kemudian menari, kuyup
Menari, menari, menari
Menunggu hadir sang pelangi
Lalu ku terlelah,
Letih, lalu terjatuh
Dan terbaring di lapang
dalam serbuan lemah para rintik
Ku tertidur, namun tiada terlelap
Bahagia, meski hanya sesaat
Karena pelangi kini hadir
Pelangi, yang setahun kurindukan
Bagai kerinduan musafir padang pasir
pada oase-oase suci, atau zam-zam zam-zam yang tiada pernah ternoda
Lalu sesaat menghilang,
Namun ku terpuaskan
oleh warnanya, oleh indahnya
Terimakasihku pada Penciptanya
Hadirkannya di sisi jauh langitku yang kini sudah kembali biru,
kembali cerah, dan berubah sunyi.
Dengan sisa kesejukan, ku harap ia kan kembali esok,
di pagi berembun atau di terik-terik hari yang lain.
--------------
Monday, October 17, 2005
senandung rintik di atas daun-daun kering
Hujan lagi, yang pertama tahun ini
Dingin, gelap,
tapi hanya rintik.
Daun yang mengering siang tadi
Basah kini, sebasah tanah-tanah yang terobati rindunya.
Bahagia,
Sebahagia akar-akar yang tersegarkan hausnya.
Tapi mendung berlanjut
Meski rintik sejam lalu terhenti
Hingga malam gelap
Karena bintang yang bersedih
Tak lagi tampak cahayakan rerumput dengan ceria
Ada yang sedih,
Banyak yang bahagia...
Dingin, gelap,
tapi hanya rintik.
Daun yang mengering siang tadi
Basah kini, sebasah tanah-tanah yang terobati rindunya.
Bahagia,
Sebahagia akar-akar yang tersegarkan hausnya.
Tapi mendung berlanjut
Meski rintik sejam lalu terhenti
Hingga malam gelap
Karena bintang yang bersedih
Tak lagi tampak cahayakan rerumput dengan ceria
Ada yang sedih,
Banyak yang bahagia...
Tuesday, October 11, 2005
surat untuk kawan --- sebuah curahan dan rintihan sepi ---
Hari ini aku lebih banyak diam
Tidak seperti kemarin-kemarin.
Mungkin kita tahu tentang jalan yang sama pernah kita lalui
Likunya begitu tajam, seperti hendak gulingkan kita ke sisi-sisinya yang berduri.
Tapi kita tidak menangis, meski dua tiga kali kita terjerembab, terhantam pohon, tergores ranting yang berdiri satu meter di tepinya.
Jika ku merintih, kau bangunkanku
dan kita terus berjalan
lagi
dan lagi...
tapi kini kita sudah lewati persimpangan
dan kita sudah memilih
kau sendiri, kan sudah tahu, kita sudah berbeda memilih?
Lalu kita lanjutkan berjalan, meski kini sendiri-sendiri.
Pasti tidak enak rasanya berjalan sendiri, kan?
Aku sudah rasakan, waktu ku terjatuh, betapa sulitnya berdiri sendiri
Hingga harus kubuang waktuku tuk hilangkan sakit,
Lalu mulai berjalan lagi.
Lagi
Dan lagi...
Aku kangen berjalan lagi denganmu
Kaki ini terlalu sakit menopang berat tubuhku sendiri
Ku ingin kau bantu ku berjalan dengan pundakmu mengangkat lengan dan tubuhku.
Aku juga kangen mendengar cerita-ceritamu.
Ketika kita berjalan bersama, kau sering bercerita tentang hidupmu,
Yang terkadang sedih,
Namun selalu buatku tersenyum.
Ada yang perhatikanku saat itu
Kamu, Kawan...
Tapi, kawan, jalan ini terlalu jauh.
Padahal aku merasa sudah lama berjalan setelah persimpangan itu.
Tapi tidak juga aku sampai di tujuanku.
Ah, mungkin saja aku lupa tujuanku
Atau aku sudah salah jalur.
Aku tidak tahu, Kawan.
Kuharap kelak kita berpapasan di jalan yang menyilang
Tapi aku tidak tahu di mana itu.
Bahkan ku tidak yakin, apa persilangan itu ada.
Tapi kuharap, jika itu ada, kita kan bertemu di sana
Lalu kau arahkanku di jalan yang benar,
hingga ku bisa berjalan sendiri.
Tapi, kawan, maaf, aku terlalu lelah hari ini.
Semoga di mimpi kita bertemu
Lalu kau menyapaku
Meski ku tak yakin kau masih mengenalku.
Salam hangat penuh lelah,
Sahabatmu....
Tidak seperti kemarin-kemarin.
Mungkin kita tahu tentang jalan yang sama pernah kita lalui
Likunya begitu tajam, seperti hendak gulingkan kita ke sisi-sisinya yang berduri.
Tapi kita tidak menangis, meski dua tiga kali kita terjerembab, terhantam pohon, tergores ranting yang berdiri satu meter di tepinya.
Jika ku merintih, kau bangunkanku
dan kita terus berjalan
lagi
dan lagi...
tapi kini kita sudah lewati persimpangan
dan kita sudah memilih
kau sendiri, kan sudah tahu, kita sudah berbeda memilih?
Lalu kita lanjutkan berjalan, meski kini sendiri-sendiri.
Pasti tidak enak rasanya berjalan sendiri, kan?
Aku sudah rasakan, waktu ku terjatuh, betapa sulitnya berdiri sendiri
Hingga harus kubuang waktuku tuk hilangkan sakit,
Lalu mulai berjalan lagi.
Lagi
Dan lagi...
Aku kangen berjalan lagi denganmu
Kaki ini terlalu sakit menopang berat tubuhku sendiri
Ku ingin kau bantu ku berjalan dengan pundakmu mengangkat lengan dan tubuhku.
Aku juga kangen mendengar cerita-ceritamu.
Ketika kita berjalan bersama, kau sering bercerita tentang hidupmu,
Yang terkadang sedih,
Namun selalu buatku tersenyum.
Ada yang perhatikanku saat itu
Kamu, Kawan...
Tapi, kawan, jalan ini terlalu jauh.
Padahal aku merasa sudah lama berjalan setelah persimpangan itu.
Tapi tidak juga aku sampai di tujuanku.
Ah, mungkin saja aku lupa tujuanku
Atau aku sudah salah jalur.
Aku tidak tahu, Kawan.
Kuharap kelak kita berpapasan di jalan yang menyilang
Tapi aku tidak tahu di mana itu.
Bahkan ku tidak yakin, apa persilangan itu ada.
Tapi kuharap, jika itu ada, kita kan bertemu di sana
Lalu kau arahkanku di jalan yang benar,
hingga ku bisa berjalan sendiri.
Tapi, kawan, maaf, aku terlalu lelah hari ini.
Semoga di mimpi kita bertemu
Lalu kau menyapaku
Meski ku tak yakin kau masih mengenalku.
Salam hangat penuh lelah,
Sahabatmu....
bias arti tanpa segaris makna --- jangan pikirkan ---
Batu, tenggelam di dasar air
Ia ajarkanku tentang ketenangan
Meski hancur sudah, berbaurtanah
Ah, semua karena air
Air, mendidih di atas perapian
Ia ajarkanku tentang kedamaian
Meski kering sudah, bercampur angin
Ah, pasti karena api
Satu, dua, ia lihatkan
Dalam pelukan, aku sadarkan
Ia banyak mengajar
Hanya kita yang tak sadar
Hingga mata terpejam oleh kafan
Hanya untuk sesekali lihatkan
Sebuah nalar tentang perasaan
Atau pandangan tentang Tuhan
Ah, entahlah...
Ia ajarkanku tentang ketenangan
Meski hancur sudah, berbaurtanah
Ah, semua karena air
Air, mendidih di atas perapian
Ia ajarkanku tentang kedamaian
Meski kering sudah, bercampur angin
Ah, pasti karena api
Satu, dua, ia lihatkan
Dalam pelukan, aku sadarkan
Ia banyak mengajar
Hanya kita yang tak sadar
Hingga mata terpejam oleh kafan
Hanya untuk sesekali lihatkan
Sebuah nalar tentang perasaan
Atau pandangan tentang Tuhan
Ah, entahlah...
Subscribe to:
Posts (Atom)